Mar dan Mendut

Tidak heran, mendut yang mandiri, lincah, cerdas, dianggap sebagai gadis urakan, dan pemberontak. Sebenarnya, mendut tidak akan memberontak, jika ia diijinkan pulang, dan menjalani kehidupannya yang dulu, sebagai gadis pesisir yang ceria.
Bukan salah mendut, atau hanya saja mendut yang lahir di waktu yang salah?
Memang pada waktu itu, patriarki sangat kental.
Perempuan masih murni sebagai "pelayan, dan sebuah harta", yang mungkin tidak seberharga kekuasaan, kehormatan dan jabatannya (lelaki)

Apakah itu berarti mendut tidak membutuhkan lelaki? Dia normal, mencintai laki-laki juga. Apakah sikap mendut itu benar? Bisa ya, bisa tidak, dia tidak punya pilihan lagi, haknya sebagai manusia yg bebas menentukan hidupnya telah direnggut.
Ke zaman sekarang
Tahun berganti, teknologi makin menggila canggihnya, pendidikan semakin mudah dijangkau oleh siapapun meski tidak melalui jalur "formal". Serba praktis, mudah, dan mungkin bebas. Kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan pun terus digaungkan.

Apakah sehebat itu zaman ini? tanya mendut terheran-heran. “Mengapa aku dilahirkan di zaman itu?”. Cupcupcup, justru secara tidak langsung ini juga hasil dari keberanianmu kalau itu mbak mendut. Kamu adalah salah satu pembawa obor semangat perempuan masa kini.
Kenyataannya tidak "sehebat itu". Masih banyak yg melanggengkan patriarki, dari segi kepercayaan, lingkungan sosial, omongan tetangga, pendapat warganet, dan yang paling parah adalah dari keluarga sendiri.
"Kamu ingin bebas?" tanyanya padaku yg sedang menikmati kopi panas yang kubuatkan untuknya.
"Tidak sepenuhnya bebas. Aku ingin menjadi manusia, yg bebas menentukan pilihannya, tanpa batasan 'bawaan lahir', bebas memilih, menjadi karakter yang ingin kuperankan sendiri, hidup di standar yang aku buat sendiri selama itu tidak merugikan orang lain", jawabku.
Sedih, bahkan keluarga sendiri pun mengatakan "pemikiranmu aneh, jangan sampai anakku jadi urakan seperti kamu".
Hanya karena aku menanggapi ocehannya tentang bagaimana mengubah kebiasaan kaki anak perempuannya yg tidak lurus seperti anak perempuan lainnya. Aku pun melanjutkan cerita tentang keluargaku:
"Apakah kebiasaannya itu merugikan orang lain? Mengganggu tidurmu?" 
Anggota keluargaku itu tak menjawab.
"Menurutku tak masalah, itu juga haknya" lanjutku
"Tapi dia perempuan" jawabnya
"Lantas?" tanyaku singkat
"Kalau lelaki tak masalah, memang sudah tabiatnya"
"Oh, kalau laki-laki boleh seenaknya berarti? Walaupun tidak sopan, tetap wajar?
Bukankah laki-laki dan perempuan itu sama saja dalam bertingkah?" tanyaku sinis
"Jangan samakan dengan dirimu, kau urakan, aku tak mau anakku menjadi sepertimu" jawabnya.
Peringatan batas kemarahanku sudah berbunyi.
Meninggalkan obrolan tanpa penutup memang bukan kebiasaanku, lelah berdebat dengan orang yg sudah hidup di standar patriarki ini.
Wanita wajib jaga sikap, lelaki tidak. Lelaki bebas berpendapat, wanita tidak dan seterusnya yg membuatku menjadi tak bersyukur terlahir seperti ini (wanita).
Blablabla aku muak, mual, ingin muntah.

Selesai menceritakan kesalku itu, kami melanjutkan berdiskusi, masih di tempat yang sama. Dengan kopiku yg tinggal separuh.
"Pertama kali kamu menentang kapan?"
"Jelas saat dipaksa menjadi selir, kamu?" Ia pun berbalik bertanya.
"1,5 tahun lalu jawabku singkat

Dan tiba-tiba Mendut menghilang. Aku mendengar suara alarm, oh ini waktunya aku untuk kembali pergi.

Ditulis oleh Margarethharan (Mar) pada 21 Februari 2019 via Twitter

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2025 Suka pergi sendirian | Designed With By Templateclue
Scroll To Top